Senin, 23 Desember 2013

Lembaga Negara di Indonesia Pasca Reformasi

Pasca Reformasi banyak berdiri Lembaga-lembaga baru di Indonesia, hal ini dikarenakan lembaga-lembaga negara yang ada dianggap belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi. Atau secara lebih detail, pembentukan lembaga-lembaga negara baru di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting, yaitu :
a.     Tidak adanya kredibilitas terhadap Lembaga Negara yang sudah ada, hal ini disebabkan oleh adanya asumsi dan bukti mengenai kasus korupsi di Indonesia yang sistemik dan mengakar serta sulit untuk diberantas. Hal tersebut membuat kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Negara yang ada menjadi rendah, sehingga pada akhirnya perlu dibentuk Lembaga-lembaga Negara Baru untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang terus menurun terhadap Lembaga-lembaga Negara yang telah lama berdiri sebelum masa reformasi.
b.     Tidak independennya Lembaga-lembaga Negara yang ada, karena satu atau lain hal tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain. Hal ini menyebabkan munculnya suatu nuansa intervensi terutama dari pihak eksekutif karena besarnya kekuasaan mereka, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan lagi di kalangan masyarakat. Di Indonesia hampir sangat sulit menyebut bahwa sutu lembaga telah independen, karena banyak lembaga yang pada akhirnya juga akan bekerjasama dengan lembaga lain dan juga masuk ke dalam wewenang lembaga lain yang seharusnya bukan menjadi wewenangnya, oleh karena itu pemerintah merasa perlu mendirikan lembaga-lembaga negara baru untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya pemerintah membentuk lembaga seperti DPD, MK dan KY.
c.       Ketidakmampuan Lembaga-lembaga Negara yang telah ada untuk meakukan tugas yang urgen dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN. Misalnya saja contoh-contoh KKN yang telah terjadi seperti kasus KKN di MK yang dilakukan oleh Ali Mochtar. MK sebagai Lembaga Negara yang vital seharusnya terbebas dari kasus korupsi, namun yang terjadi justru ketua MK Akil Mochtar melakukannya. Hal ini membuat masyarakat menjadi beranggapan bahwa Lembaga Negara yang ada kurang mampu atau bahkan tidak mampu menjalankan tugasnya, sehingga perlu dibentuk Lembaga-lembaga Negara Baru untuk memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi.
d.  Adanya pengaruh global dengan pembentukan lembaga negara baru di banyak negara menuju demokrasi. Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi dengan hanya mengandalkan lembaga negara yang ada dan diperlukan pembentukan lembaga negara baru.
e.  Adanya tekanan dari lembaga-lembaga Internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.

Dalam membentuk Lembaga Negara baru diperlukan syarat-syarat pembentukannya, dimana syarat-syarat tersebut tercermin dalam prinsip-prinsip pembentukan Lembaga Negara. Prinsip-prinsip tersebut yaitu :
a.      Penegasan prinsip konstitusionalisme, yaitu gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintah yang ada dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme atau prosedur yang tetap, sehingga hak-hak dasar warga negara semakin terjamin dan demokrasi dapat terjaga. Lembaga Negara baru harus mengacu pada hukum yang jelas, ada wewenang yang jelas. Contoh sederhananya yaitu pada lingkup fakultas, seorang Ketua Prodi memiliki wewenang yang terbatas, yaitu mengkoordinasikan dosen dan bukan memerintah dosen, begitu juga dengan Lembaga Negara, dengan adanya prinsip ini maka Lembaga Negara tidak perlu takut atau khawatir lagi akan diperintah secara sewenang-wenang.
b.      Prinsip checks and balance (mengawasi dan mengimbangi), yang menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Untuk itu pembentukan organ kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar sistem UUD 1945 yang mengarah ke separation of power (pemisahan kekuasaan). Dengan adanya prinsip ini diharapkan Lembaga Negara baru saling mengawasi dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Misalnya MK merupakan lembaga dengan keputusn final dan juga merupakan lembaga terakhir, sehingga seolah-olah tidak dapat diawasi dan tidak mau diawasi sebagai lembaga independen. Sehingga ada wacana untuk diadakannya amandemen UUD 1945 kelima.
c.   Prinsip integrasi (kesatuan), dalam arti bahwa pembentukan lembaga negara tidak bisa dilakukan secara parsial, keberadaannya harus dikaitkan dengan lembaga lain yang telah ada dan eksis. Pembentukan lembaga negara harus disusun sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan proses yang saling mengisi dan memperkuat, serta harus jelas kepada siapa lembaga tersebut harus bertanggung jawab dan menyerahkan kontrolnya, mungkin bisa ke lembaga yang setara maupun lembaga di atasnya.
d.    Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat, yaitu pembentukan lembaga negara bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan warganya dan menjamin hak-hak dasar yang dijamin konstitusi. Disini Lembaga Negara baru diharapkan dapat menampung aspirasi masyarakat dan bukan justru sebaliknya. Lembaga Negara baru ini juga bukan hanya bersifat kedaerahan atau hanya sekelompok orang saja, melainkan untuk kenegaraan atau bersifat menyeluruh dan berbeda dengan ormas yang hanya fokus pada kelompok kepentingan masyarakat tertentu.

Sengketa kewenangan antar Lembaga Negara sering terjadi akibat adanya separation of power atau pemisahan kekuasaan. Dimana dengan adanya pemisahan kekuasaan tersebut maka diterapkan pula prinsip checks and balances menimbulkan pertentangan antar lembaga yang diletakkan secara sederajat dan saling kontrol yang pada akhirnya menimbulkan persinggungan kepentingan yang tidak dapat dikompromikan antar lembaga. Sebenarnya sengketa tersebut dapat dikompromikan apabila pihak lembaga memahami secara detail payung hukum dan konstitusinya, namun tetap saja lembaga merasa persinggungan tersebut tidak dapat dikompromikan dan akhirnya menimbulkan sengketa.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, sengketa timbul dikarenakan dua hal,yaitu :
a.      Kurang mamadainya sistem yang mengatur dan mewadahi hubungan antar organ negara.
Diakibatkan sistem yang tidak memadai tersebut maka hubungan antar organ negara menjadi kurang harmonis, karena secara sederhananya tidak ada yang menjembatani hubungan antar lembaga tersebut, sehingga akhirnya timbul “perang kepentingan” antar lembaga. Lembaga menjadi lebih mementingkan lembaganya sendiri tanpa memikirkan lembaga yang lain dan juga tidak memikirkan keselarasan dalam sistem pemerintahan.
b.      Perbedaan interpretasi terhadap suatu ketentuan.
Terjadi perbedaan pendapat, pandangan dan penafsiran terhadap suatu ketentuan tertentu, hal ini jelas menyebabkan suatu konflik atau persinggungan antar lembaga yang akhirnya menimbulkan suatu sengketa.

Terkait dengan sengketa kewenangan maka penyelesainnya dapat dilakukan dengan menggunakan penafsiran konstitusional. Penafsiran Konstitusional merupakan sebuah metode yang sering digunakan oleh para ahli, yang pada intinya bahwa setiap proses keputusan hukum dan kebijakan negara harus dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi salah tafsir dalam proses pembuatan keputusan. Beberapa pendekatan dalam Penafsiran Konstitusi diantaranya yaitu :
1.      Penafsiran secara Tekstual
Yaitu setiap keputusan harus berdasar dan melihat pada fakta dari norma hukum yang tertulis. Dalam penafsiran ini setiap ketentuan diartikan apa adanya atau sesuai dengan makna dari kata-kata yang tertera dalam dokumen hukum tertulis. Dengan demikian, penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemahaman terhadap kata-kata yang tertera dalam hukum tertulis (konstitusi atau Undang-Undang) sebagaimana yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang, dengan satu jaminan setiap orang akan memahami ketentuan tersebut tanpa khawatir adanya interpretasi lain. Namun kenyataannya hingga saat ini penafsiran ini tetap tidak menutup kemungkinan menimbulkan munculnya ambiguitas.
2.      Penafsiran secara Historis
Penafsiran ini tidak didasarkan pada kenyataan/fakta atau norma tertulis, namun lebih berdasarkan pada analisa proses perancangan hukum, maupun latar belakang/sejarah penyusunan konstitusi. Penafsiran dilakukan dengan menelaah dokumen, panitia atau laporan komisi di legislatif, transkrip dan berbagai perdebatan yang terjadi. Misalnya yaitu mengenai perlunya batasan kekuasaan presiden yang akhirnya ditetapkan dalam amandemen UUD 1945 keempat.
3.      Penafsiran secara Fungsional
Disebut juga panafsiran struktural, setiap keputusan didasarkan pada analisa struktur hukum yang termuat dalam konstitusi, dan bagaimana struktur tersebut diartikan sebagai fungsi yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain secara harmonis.
4.      Penafsiran secara Doktrinal
Keputusan didasarkan pada pendapat para ahli hukum, khususnya legislatif, eksekutif dan ketua pengadilan. Sehingga seolah-olah pendapat yang dikemukan tersebut benar. Namun, doktrin ini juga belum tentu akan diterima, sehingga antar para ahli harus tetap saling mengisi dan melengkapi.
5.      Penafsiran secara Prudensial
Keputusan berdasar pada faktor-faktor eksternal dalam hukum atau kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam suatu perkara. Misalnya yaitu dengan cara mencari keseimbangan antara biaya-biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari penerapan suatu aturan atau Undang-Undang tertentu.
6.      Penafsiran secara Etik
Keputusan diambil berdasar pada rasa keadilan, apa yang benar dan salah, serta apa yang menjadi tujuan utama dari peraturan perundang-undangan serta dengan cara menurunkan prinsip-prinsip moral dan etik sebagaimana terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar. Metode penafsiran ini dikonstruksi dari tipe berpikir konstitusional yang menggunakan pendekatan falsafati, aspirasi atau moral. Dengan demikian metode penafsiran ini juga dapat digunakan untuk isu-isu yang menekankan pada pentingnya hak-hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kekuasaan negara atau pemerintahan. Namun pada dasarnya apapun permasalahannya, penafsiran etik ini perlu untuk diikutsertakan. Sebab sebaik-baiknya peraturan ataupun sebuah keputusan tetap tidak akan menjadi baik apabila peraturan atau keputusan tersebut tidak membawa keadilan pada rakyatnya.

Keenam penyelenggaraan penafsiran ini pada dasarnya dapat dilakukan semua secara bersamaan atau dikombinasikan, namun hal tersebut jarang terjadi karena tetap tergantung pada permaslahan yang sedang dihadapi.

1 komentar:

  1. Terima kasih sharing infonya cukup lengkap bisa jadi rujukan dan referensi saya dalam menulis postingan di ttg Pendidikan Anak
    terima kasih
    sangat bermanfaat

    BalasHapus