Pasca
Reformasi banyak berdiri Lembaga-lembaga baru di Indonesia, hal ini dikarenakan
lembaga-lembaga negara yang ada dianggap belum dapat memberikan jalan keluar
dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan
semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran
lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik
terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan
yang dihadapi. Atau secara lebih detail, pembentukan lembaga-lembaga negara
baru di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting, yaitu :
a. Tidak
adanya kredibilitas terhadap Lembaga Negara yang sudah ada, hal ini disebabkan
oleh adanya asumsi dan bukti mengenai kasus korupsi di Indonesia yang sistemik
dan mengakar serta sulit untuk diberantas. Hal tersebut membuat kepercayaan
masyarakat terhadap Lembaga Negara yang ada menjadi rendah, sehingga pada
akhirnya perlu dibentuk Lembaga-lembaga Negara Baru untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat yang terus menurun terhadap Lembaga-lembaga Negara yang
telah lama berdiri sebelum masa reformasi.
b. Tidak
independennya Lembaga-lembaga Negara yang ada, karena satu atau lain hal tunduk
di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain. Hal ini menyebabkan
munculnya suatu nuansa intervensi terutama dari pihak eksekutif karena besarnya
kekuasaan mereka, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan lagi di
kalangan masyarakat. Di Indonesia hampir sangat sulit menyebut bahwa sutu
lembaga telah independen, karena banyak lembaga yang pada akhirnya juga akan
bekerjasama dengan lembaga lain dan juga masuk ke dalam wewenang lembaga lain
yang seharusnya bukan menjadi wewenangnya, oleh karena itu pemerintah merasa
perlu mendirikan lembaga-lembaga negara baru untuk mengatasi masalah tersebut.
Misalnya pemerintah membentuk lembaga seperti DPD, MK dan KY.
c. Ketidakmampuan
Lembaga-lembaga Negara yang telah ada untuk meakukan tugas yang urgen dalam
masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN. Misalnya saja
contoh-contoh KKN yang telah terjadi seperti kasus KKN di MK yang dilakukan
oleh Ali Mochtar. MK sebagai Lembaga Negara yang vital seharusnya terbebas dari
kasus korupsi, namun yang terjadi justru ketua MK Akil Mochtar melakukannya.
Hal ini membuat masyarakat menjadi beranggapan bahwa Lembaga Negara yang ada
kurang mampu atau bahkan tidak mampu menjalankan tugasnya, sehingga perlu
dibentuk Lembaga-lembaga Negara Baru untuk memberikan jalan keluar dan
menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan
semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi.
d. Adanya
pengaruh global dengan pembentukan lembaga negara baru di banyak negara menuju
demokrasi. Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju
demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran
pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat
impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan
negara yang sebelumnya dianggap sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi
dan dirasakan tidak cukup lagi dengan hanya mengandalkan lembaga negara yang
ada dan diperlukan pembentukan lembaga negara baru.
e. Adanya
tekanan dari lembaga-lembaga Internasional
untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju
demokratisasi.
Dalam
membentuk Lembaga Negara baru diperlukan syarat-syarat pembentukannya, dimana
syarat-syarat tersebut tercermin dalam prinsip-prinsip pembentukan Lembaga Negara.
Prinsip-prinsip tersebut yaitu :
a. Penegasan
prinsip konstitusionalisme,
yaitu gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan
pemerintah yang ada dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga
menjadi suatu mekanisme atau prosedur yang tetap, sehingga hak-hak dasar warga
negara semakin terjamin dan demokrasi dapat terjaga. Lembaga Negara baru harus mengacu
pada hukum yang jelas, ada wewenang yang jelas. Contoh sederhananya yaitu pada
lingkup fakultas, seorang Ketua Prodi memiliki wewenang yang terbatas, yaitu
mengkoordinasikan dosen dan bukan memerintah dosen, begitu juga dengan Lembaga
Negara, dengan adanya prinsip ini maka Lembaga Negara tidak perlu takut atau
khawatir lagi akan diperintah secara sewenang-wenang.
b. Prinsip
checks and balance
(mengawasi dan mengimbangi), yang menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan
demokrasi. Untuk itu pembentukan organ kelembagaan negara harus bertolak dari
kerangka dasar sistem UUD 1945 yang mengarah ke separation of power (pemisahan
kekuasaan). Dengan adanya prinsip ini diharapkan Lembaga Negara baru saling
mengawasi dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Misalnya MK merupakan
lembaga dengan keputusn final dan juga merupakan lembaga terakhir, sehingga
seolah-olah tidak dapat diawasi dan tidak mau diawasi sebagai lembaga
independen. Sehingga ada wacana untuk diadakannya amandemen UUD 1945 kelima.
c. Prinsip
integrasi (kesatuan), dalam arti
bahwa pembentukan lembaga negara tidak bisa dilakukan secara parsial,
keberadaannya harus dikaitkan dengan lembaga lain yang telah ada dan eksis.
Pembentukan lembaga negara harus disusun sedemikian rupa sehingga menjadi satu
kesatuan proses yang saling mengisi dan memperkuat, serta harus jelas kepada
siapa lembaga tersebut harus bertanggung jawab dan menyerahkan kontrolnya,
mungkin bisa ke lembaga yang setara maupun lembaga di atasnya.
d. Prinsip
kemanfaatan bagi masyarakat,
yaitu pembentukan lembaga negara bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan
warganya dan menjamin hak-hak dasar yang dijamin konstitusi. Disini Lembaga Negara baru
diharapkan dapat menampung aspirasi masyarakat dan bukan justru sebaliknya.
Lembaga Negara baru ini juga bukan hanya bersifat kedaerahan atau hanya
sekelompok orang saja, melainkan untuk kenegaraan atau bersifat menyeluruh dan
berbeda dengan ormas yang hanya fokus pada kelompok kepentingan masyarakat
tertentu.
Sengketa
kewenangan antar Lembaga Negara sering terjadi akibat adanya separation of power atau pemisahan
kekuasaan. Dimana dengan adanya pemisahan kekuasaan tersebut maka diterapkan
pula prinsip checks and balances menimbulkan
pertentangan antar lembaga yang diletakkan secara sederajat dan saling kontrol
yang pada akhirnya menimbulkan persinggungan kepentingan yang tidak dapat
dikompromikan antar lembaga. Sebenarnya sengketa tersebut dapat dikompromikan
apabila pihak lembaga memahami secara detail payung hukum dan konstitusinya,
namun tetap saja lembaga merasa persinggungan tersebut tidak dapat
dikompromikan dan akhirnya menimbulkan sengketa.
Dalam
konteks penyelenggaraan pemerintahan, sengketa timbul dikarenakan dua hal,yaitu
:
a. Kurang mamadainya sistem yang mengatur dan mewadahi
hubungan antar organ negara.
Diakibatkan sistem yang
tidak memadai tersebut maka hubungan antar organ negara menjadi kurang
harmonis, karena secara sederhananya tidak ada yang menjembatani hubungan antar
lembaga tersebut, sehingga akhirnya timbul “perang kepentingan” antar lembaga.
Lembaga menjadi lebih mementingkan lembaganya sendiri tanpa memikirkan lembaga
yang lain dan juga tidak memikirkan keselarasan dalam sistem pemerintahan.
b. Perbedaan interpretasi terhadap suatu ketentuan.
Terjadi perbedaan
pendapat, pandangan dan penafsiran terhadap suatu ketentuan tertentu, hal ini
jelas menyebabkan suatu konflik atau persinggungan antar lembaga yang akhirnya
menimbulkan suatu sengketa.
Terkait
dengan sengketa kewenangan maka penyelesainnya dapat dilakukan dengan
menggunakan penafsiran konstitusional. Penafsiran Konstitusional merupakan
sebuah metode yang sering digunakan oleh para ahli, yang pada intinya bahwa
setiap proses keputusan hukum dan kebijakan negara harus dibuat sesuai dengan
ketentuan konstitusi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi salah
tafsir dalam proses pembuatan keputusan. Beberapa pendekatan dalam Penafsiran
Konstitusi diantaranya yaitu :
1. Penafsiran
secara Tekstual
Yaitu setiap keputusan
harus berdasar dan melihat pada fakta dari norma hukum yang tertulis. Dalam
penafsiran ini setiap ketentuan diartikan apa adanya atau sesuai dengan makna
dari kata-kata yang tertera dalam dokumen hukum tertulis. Dengan demikian,
penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemahaman terhadap kata-kata
yang tertera dalam hukum tertulis (konstitusi atau Undang-Undang) sebagaimana
yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang, dengan satu jaminan setiap
orang akan memahami ketentuan tersebut tanpa khawatir adanya interpretasi lain.
Namun kenyataannya hingga saat ini penafsiran ini tetap tidak menutup
kemungkinan menimbulkan munculnya ambiguitas.
2. Penafsiran secara Historis
Penafsiran ini tidak didasarkan pada kenyataan/fakta atau norma
tertulis, namun lebih berdasarkan pada analisa proses perancangan hukum,
maupun latar belakang/sejarah penyusunan konstitusi.
Penafsiran dilakukan dengan
menelaah dokumen, panitia atau laporan komisi di legislatif, transkrip dan berbagai
perdebatan yang terjadi. Misalnya yaitu mengenai perlunya
batasan kekuasaan presiden yang akhirnya ditetapkan dalam amandemen UUD 1945
keempat.
3. Penafsiran secara Fungsional
Disebut juga panafsiran struktural, setiap keputusan didasarkan pada
analisa struktur hukum yang termuat dalam konstitusi, dan bagaimana struktur
tersebut diartikan sebagai fungsi yang saling berkaitan antara satu dengan yang
lain secara harmonis.
4. Penafsiran secara Doktrinal
Keputusan didasarkan pada pendapat para ahli hukum, khususnya
legislatif, eksekutif dan ketua pengadilan. Sehingga seolah-olah
pendapat yang dikemukan tersebut benar. Namun, doktrin ini juga belum tentu
akan diterima, sehingga antar para ahli harus tetap saling mengisi dan
melengkapi.
5. Penafsiran secara Prudensial
Keputusan berdasar pada faktor-faktor eksternal dalam hukum atau
kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam suatu perkara.
Misalnya yaitu dengan cara mencari keseimbangan antara biaya-biaya yang harus
dikeluarkan dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari penerapan suatu
aturan atau Undang-Undang tertentu.
6. Penafsiran secara Etik
Keputusan
diambil berdasar pada rasa keadilan, apa yang benar dan salah, serta
apa yang menjadi tujuan utama dari peraturan perundang-undangan
serta dengan cara menurunkan prinsip-prinsip moral dan etik sebagaimana
terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar. Metode penafsiran ini
dikonstruksi dari tipe berpikir konstitusional yang menggunakan pendekatan
falsafati, aspirasi atau moral. Dengan demikian metode penafsiran ini juga
dapat digunakan untuk isu-isu yang menekankan pada pentingnya hak-hak asasi
manusia dan pembatasan terhadap kekuasaan negara atau pemerintahan. Namun pada
dasarnya apapun permasalahannya, penafsiran etik ini perlu untuk
diikutsertakan. Sebab sebaik-baiknya peraturan ataupun sebuah keputusan tetap
tidak akan menjadi baik apabila peraturan atau keputusan tersebut tidak membawa
keadilan pada rakyatnya.
Keenam
penyelenggaraan penafsiran ini pada dasarnya dapat dilakukan semua secara
bersamaan atau dikombinasikan, namun hal tersebut jarang terjadi karena tetap
tergantung pada permaslahan yang sedang dihadapi.
Terima kasih sharing infonya cukup lengkap bisa jadi rujukan dan referensi saya dalam menulis postingan di ttg Pendidikan Anak
BalasHapusterima kasih
sangat bermanfaat