Senin, 23 Desember 2013

Teori dan Paradigma Administrasi Negara

Pengertian teori sangat banyak sekali, berikut ini pengertian teori menurut beberapa ahli :
a.      Kerlinger (1973)
Teori adalah serangkaian konstruk atau konsep,batasan dan proposisi, yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan fokus hubungan dengan merinci hubungan0hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu.
b.      Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (1995)
Teori adalah serangkaian asumsi, konstruk, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistimatis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.
c.       Prajudi Atmosudirdjo (2003)
Teori adalah suatu pendapat (opinion, view) yang diperoleh melalui pemikiran rasional menurut suatu prosedur atau proses tertentu yang disebut orang “prosedur akademik” atau prosedur “ilmiah” (scientific method) oleh karena melalui langkah-langkah tertentu yang logis rasional.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa teori adalah pernyataan atau konsep yang berhubungan satu sama lain yang mengandung suatu pandangan sistematis dari suatu fenomena yang telah diuji kebenarannya melalui riset.

Sedangkan Teori Administrasi Negara sendiri dikatakan sebagai teori yang multidisiplin (kompleks) karena Administrasi Negara  masih meminjam berbagai konsep dan teori-teori dari ilmu lain seperti ilmu politik, sosiologi, administrasi niaga dan ilmu hukum. Ini berarti konsep Administrasi Negara dipahami melalui berbagai definisi, teori, paradigma, pendekatan, metode tertentu yang bersifat umum dan menyeluruh, serta belum spesifik mengenai apa itu Administrasi Negara sendiri. Sudah kita ketahui sendiri bahwa teori Administrasi Negara hingga saat ini masih menjadi bagian dari disiplin ilmu lain atau belum menjadi suatu studi yang independen. Pada dasarnya hal ini bukan disebabkan oleh adanya perubahan perhatian pada fokus Administrasi Negara, melainkan lebih pada inferiority complex dari para pendukungnya dan ketidak pastian karena kritik hebat yang terus-menerus diberikan menyangkut professional performance serta kelemahan akademiknya. Misalnya saja bidang public law yang telah diambil oleh disiplin ilmu hukum, pada dasarnya semua hukum bersifat publik dan seharusnya menjadi domain dari Administrasi Negara, namun kesempatan itu hilang karena sebelum Administrasi Negara menjadi disiplin ilmu sendiri bidang ilmu tersebut sudah menjadi bagian dari studi ilmu hukum, dan karenanya Administrasi Negara juga menjadi bagian dari public law, dan kejadian-kejadian serupa juga terjadi pada bidang yang lain seperti diplomasi (Hubungan internasional), studi tentang pemerintahan (ilmu politik), kemiliteran (military sciences) dan porsi di bidang health sciences, justice, police sciences, social welfare serta pelayanan publik lainnya yang seharusnya menjadi bagian dari Administrasi Negara. Seandainya saja semua bidang ilmu tersebut menjadi bagian dari Administrasi Negara, maka Administrasi Negara dapat menjadi disiplin ilmu sendiri (independen).

Pada dasarnya perkembangan suatu disiplin ilmu dapat ditelusuri dengan perubahan paradigmanya. Paradigma sendiri dapat diartikan sebagai cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan suatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu. Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa pengertian paradigma menurut beberapa ahli :
a.      Mohanan dalam Harbani Pasolong (2013:27-28)
Menjelaskan tujuh pengertian paradigma, yaitu :
1.      Paradigma sebagai value system (sistem nilai), konstruksi dan evaluasi ilmu pengetahuan mensyaratkan komitmen terhadap suatu sistem nilai yang memungkinkan kita mengevaluasi reliabilitas dari klaim ilmu suatu ilmu pengetahuan.
2.      Paradigma sebagai research interests (minat penelitian), objek penelitian, sudut pandang terhadap objek yang dikaji, fenomena yang dianggap penting atau menarik dan lain-lain.
3.      Paradigma sebagai theories (teori), seperangkat aturan hukum dan proposisi yang menghubungkan hukum tersebut dengan observasi, untuk menjelaskan apa yang sedang dikaji.
4.      Paradigma sebagai suatu models (model) konsepsi umum dari suatu realitas berdasarkan aturan-aturan yang diformulasi.
5.      Paradigma sebagai bodies of fact (seperangkat kenyataan), seperangkat hasil observasi yang membutuhkan penjelasan teoritis.
6.      Paradigma sebagai theorical frameworks (kerangka teori) kosa kata yang berhubungan dengan seperangkat konsep dimana proposisi dari suatu teori diformulasi.
7.      Paradigma sebagai observational framework (kerangka observasi), kosa kata yang berasosiasi dengan seperangkat konsep dimana proposisi observasi diformulasi.
b.      Prajudi Atmosudirdjo (2003: 91)
Paradigma adalah sudut pandang utama.
c.       Robert T. Golembiewski dalam Inu Kencana Syafiie (1999: 28)
Paradigma adalah standar suatu disiplin ilmu dilihat dari focus dan locusnya. Focus mempersoalkan apa kajian (what of the field) atau cara bagaimana memecahkan (solution) sebuah masalah. Sedangkan locus mempersoalkan dimana lokasi (where of the field) atau medan penerapan suatu ilmu pengetahuan.
Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir dan sudut pandang seseorang yang akan membentuk citra subjektif seseorang mengenai realita dan permasalahan yang ada, sehingga nanti pada akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang tersebut menanggapi realita dan permasalahan yang ada.

Dalam perkembangan ilmu Administrasi Negara telah terjadi empat kali perubahan paradigma. Berikut gagasan utama dari keempat paradigma tersebut :
1.      Paradigma Administrasi Negara Lama
Merupakan awal perkembangan dari studi Administrasi Negara dengan tokoh Wodrow Wilson yang terkenal dengan konsepnya yaitu Dikotomi Politik-Administrasi. Proses pembuatan kebijakan adalah proses politik sedangkan pelaksanaan kebijakan adalah proses administrasi.
Istilah publik dalam Administrasi Negara Lama diartikan sebagai Negara, sehinggga membuat Administrasi Negara terfokus pada organisasi dan manajemen internal dari aktifitas-aktifitas pemerintah, seperti anggaran negara, manajemen kepegawaian, dan pelayanan jasa. Perkembangan paradigma Administrasi Negara lama :
1)      Paradigma 1: Dikotomi Politik dan Administrasi
Dalam paradigma ini dibedakan dengan jelas antara administras dan politik negara. Fokus dari Administrasi Negara terbatas pada masalah-masalah organisasi, kepegawaian dan penyusunan anggaran dalam birokrasi dan pemerintaha, sedangkan masalah-masalah pemerintahan, politik dan kebijaksanaan merupakan substansi ilmu politik. Lokus dalam paradigma ini adalah mempermaslahkan dimana seharusnya Administrasi Negara ini berada.
2)      Paradigma 2 : Prinsip-Prinsip Administrasi
Dalam paradigma ini lokus dianggap tidak terlalu penting, dan yang dipentingkan adalah fokusnya yaitu “prinsip-prinsip administrasi” dipandang dapat berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan setiap lingkungan sosial budaya
3)      Paradigma 3 : Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik
Fase paradigma ini merupakan suatu usaha untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara Adminitrasi Negara dan ilmu politik.
4)      Paradigma 4 : Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi
Pada fase ini ilmu administrasi hanya memberikan fokus, tetapi tidak pada lokusnya.
5)      Paradigma 5 : Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi Negara
Pada paradigma ini Administrasi Negara telah berkembang menjadi Ilmu Administrasi Negara, yaitu merambah ke teori organisasi, ilmu kebijakan, dan ekonomi politik.

2.      Paradigma Administrasi Negara Baru
Administrasi Negara Baru muncul pada tahun 1970-an. Konsep ini merupakan kritik terhadap konsep paradigma Administrasi Negara Lama. Pada dasarnya, Administrasi Negara Baru ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa Administrasi Negara harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu, tiga administrasi publik harus mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.

3.      Paradigma New Public Management (NPM)
Paradigma ini secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern. Dalam New Public Management (NPM), publik atau pengguna layanan publik sebagai “customer” (konsep ekonomi liberal “economic man”) yang tindakannya dimotivasi dorongan untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan material. Orientasi NPM menurut Ferlie, Ashbuerner, Filzgerald dan Pettgrew dala Keban (2004:25) yaitu :
1.      Orientasi The Drive yaitu mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja.
2.    Orientasi Downsizing and Decentralization yaitu mengutamakan penyederhanaan struktur, memperkaya fungsi, dan mendelegasikan otoritas kepada unit-unit yang lebih kecil agar dapat berfungsi secara cepat dan tepat.
3.    Orientasi In Search of Exellence yaitu mngutamakan kinerja optimal dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4.      Orientasi Public Service yaitu menekankan pada kualitas, misi, dan nilai-nilai yang hendak dicapai organisasi publik, memberikan perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, memberikan otoritas yang lebih tinggi kepada pejabat yang dipilih oleh masyarakat, termasuk wakl-wakil mereka, menekankan social learning dalam pemberian pelayanan publik dan penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas.

4.      Paradigma New Public Service (NPS)
Dalam New Public Service (NPS), publik dianggap sebagai “citizens” atau warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban publik yang sama. “Citizens” adalah pengguna layanan publik dan juga subyek berbagai kewajiban publik. Karena itu administrasi publik tidak hanya responsif pada “customer” tetapi juga pada pemenuhan hak-hak publik. Denhardt (2003), The New Public Service memuat ide pokok sebagai berikut :
1.      Serve Citizen, Not Customers, yaitu aparatur pelayanan tidak hanya merespon keinginan pelanggan (customer), tetapi juga lebih fokus pada pembangunan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan antara warga negara (citizen).
2. Seek the Public Interest, yaitu administrasi publik harus memberi kontribusi untuk membangun sebuah kebersamaan, membagi gagasan dari kepentingan publik, tujuannya adalah tidak untuk menemukan pemecahan yang cepat yang dikendalikan oleh pilihan-pilihan indivisu. Lebih dari itu, adalah kreasi pembagian kepentingan dan tanggungjawab.
3.   Value citizenship over entrepreneurship, yaitu kepentingan publik lebih dimajukan oleh komitmen aparatur pelayanan publik dan warga negara untuk membuat kontribusi lebih berarti daripada oleh gerakan para manajer swasta sebagai bagian dari keuntungan publik yang menjadi milik mereka.
4.   Think strategically, Act Democracally, yaitu pertemuan antara kebijakan dan program agar bisa dicapai lebih efektif dan berhasil secara bertanggungjawab mengikuti upaya bersama dan proses-proses kebersamaan.
5.    Recognized that Accountability is not Simple, yaitu aparatur pelayanan publik seharusnya penuh perhatian yang lebih baik daripada pasar. Mereka juga harus mengikuti peraturan perundangan dan konstitusi, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar-standar profesional dan kepentingan warga negara.
6.   Serve rather than steer, yaitu semakin bertambah penting bagi pelayanan publik untuk menggunakan andil, nilai kepemimpinan mendasar dan membantu warga negara mengartikulasikan dan mempertemukan kepentingan yang menjadi bagian mereka lebih dari pada berusaha untuk mengontrol atau mengendalikan masyarakat pada petunjuk baru.
7.    Value people, not just productivity, yaitu organisasi publik dan kerangka kerjanya dimana mereka berpartisipasi dan lebih sukses dalam kegiatannya kalau mereka mengoperasikan sesuai proses kebersamaan dan mendasarkan diri pada kepemimpinan yang hormat pada semua orang.
Jika ketujuh ide pokok tersebut benar-benar dapat dihayati dan diimplementasikan oleh aparatur publik, maka pelayanan publik instans pemerintah tidak akan kalah dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor privat.


Lembaga Negara di Indonesia Pasca Reformasi

Pasca Reformasi banyak berdiri Lembaga-lembaga baru di Indonesia, hal ini dikarenakan lembaga-lembaga negara yang ada dianggap belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi. Atau secara lebih detail, pembentukan lembaga-lembaga negara baru di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting, yaitu :
a.     Tidak adanya kredibilitas terhadap Lembaga Negara yang sudah ada, hal ini disebabkan oleh adanya asumsi dan bukti mengenai kasus korupsi di Indonesia yang sistemik dan mengakar serta sulit untuk diberantas. Hal tersebut membuat kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Negara yang ada menjadi rendah, sehingga pada akhirnya perlu dibentuk Lembaga-lembaga Negara Baru untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang terus menurun terhadap Lembaga-lembaga Negara yang telah lama berdiri sebelum masa reformasi.
b.     Tidak independennya Lembaga-lembaga Negara yang ada, karena satu atau lain hal tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain. Hal ini menyebabkan munculnya suatu nuansa intervensi terutama dari pihak eksekutif karena besarnya kekuasaan mereka, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan lagi di kalangan masyarakat. Di Indonesia hampir sangat sulit menyebut bahwa sutu lembaga telah independen, karena banyak lembaga yang pada akhirnya juga akan bekerjasama dengan lembaga lain dan juga masuk ke dalam wewenang lembaga lain yang seharusnya bukan menjadi wewenangnya, oleh karena itu pemerintah merasa perlu mendirikan lembaga-lembaga negara baru untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya pemerintah membentuk lembaga seperti DPD, MK dan KY.
c.       Ketidakmampuan Lembaga-lembaga Negara yang telah ada untuk meakukan tugas yang urgen dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN. Misalnya saja contoh-contoh KKN yang telah terjadi seperti kasus KKN di MK yang dilakukan oleh Ali Mochtar. MK sebagai Lembaga Negara yang vital seharusnya terbebas dari kasus korupsi, namun yang terjadi justru ketua MK Akil Mochtar melakukannya. Hal ini membuat masyarakat menjadi beranggapan bahwa Lembaga Negara yang ada kurang mampu atau bahkan tidak mampu menjalankan tugasnya, sehingga perlu dibentuk Lembaga-lembaga Negara Baru untuk memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi.
d.  Adanya pengaruh global dengan pembentukan lembaga negara baru di banyak negara menuju demokrasi. Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi dengan hanya mengandalkan lembaga negara yang ada dan diperlukan pembentukan lembaga negara baru.
e.  Adanya tekanan dari lembaga-lembaga Internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.

Dalam membentuk Lembaga Negara baru diperlukan syarat-syarat pembentukannya, dimana syarat-syarat tersebut tercermin dalam prinsip-prinsip pembentukan Lembaga Negara. Prinsip-prinsip tersebut yaitu :
a.      Penegasan prinsip konstitusionalisme, yaitu gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintah yang ada dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme atau prosedur yang tetap, sehingga hak-hak dasar warga negara semakin terjamin dan demokrasi dapat terjaga. Lembaga Negara baru harus mengacu pada hukum yang jelas, ada wewenang yang jelas. Contoh sederhananya yaitu pada lingkup fakultas, seorang Ketua Prodi memiliki wewenang yang terbatas, yaitu mengkoordinasikan dosen dan bukan memerintah dosen, begitu juga dengan Lembaga Negara, dengan adanya prinsip ini maka Lembaga Negara tidak perlu takut atau khawatir lagi akan diperintah secara sewenang-wenang.
b.      Prinsip checks and balance (mengawasi dan mengimbangi), yang menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Untuk itu pembentukan organ kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar sistem UUD 1945 yang mengarah ke separation of power (pemisahan kekuasaan). Dengan adanya prinsip ini diharapkan Lembaga Negara baru saling mengawasi dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Misalnya MK merupakan lembaga dengan keputusn final dan juga merupakan lembaga terakhir, sehingga seolah-olah tidak dapat diawasi dan tidak mau diawasi sebagai lembaga independen. Sehingga ada wacana untuk diadakannya amandemen UUD 1945 kelima.
c.   Prinsip integrasi (kesatuan), dalam arti bahwa pembentukan lembaga negara tidak bisa dilakukan secara parsial, keberadaannya harus dikaitkan dengan lembaga lain yang telah ada dan eksis. Pembentukan lembaga negara harus disusun sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan proses yang saling mengisi dan memperkuat, serta harus jelas kepada siapa lembaga tersebut harus bertanggung jawab dan menyerahkan kontrolnya, mungkin bisa ke lembaga yang setara maupun lembaga di atasnya.
d.    Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat, yaitu pembentukan lembaga negara bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan warganya dan menjamin hak-hak dasar yang dijamin konstitusi. Disini Lembaga Negara baru diharapkan dapat menampung aspirasi masyarakat dan bukan justru sebaliknya. Lembaga Negara baru ini juga bukan hanya bersifat kedaerahan atau hanya sekelompok orang saja, melainkan untuk kenegaraan atau bersifat menyeluruh dan berbeda dengan ormas yang hanya fokus pada kelompok kepentingan masyarakat tertentu.

Sengketa kewenangan antar Lembaga Negara sering terjadi akibat adanya separation of power atau pemisahan kekuasaan. Dimana dengan adanya pemisahan kekuasaan tersebut maka diterapkan pula prinsip checks and balances menimbulkan pertentangan antar lembaga yang diletakkan secara sederajat dan saling kontrol yang pada akhirnya menimbulkan persinggungan kepentingan yang tidak dapat dikompromikan antar lembaga. Sebenarnya sengketa tersebut dapat dikompromikan apabila pihak lembaga memahami secara detail payung hukum dan konstitusinya, namun tetap saja lembaga merasa persinggungan tersebut tidak dapat dikompromikan dan akhirnya menimbulkan sengketa.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, sengketa timbul dikarenakan dua hal,yaitu :
a.      Kurang mamadainya sistem yang mengatur dan mewadahi hubungan antar organ negara.
Diakibatkan sistem yang tidak memadai tersebut maka hubungan antar organ negara menjadi kurang harmonis, karena secara sederhananya tidak ada yang menjembatani hubungan antar lembaga tersebut, sehingga akhirnya timbul “perang kepentingan” antar lembaga. Lembaga menjadi lebih mementingkan lembaganya sendiri tanpa memikirkan lembaga yang lain dan juga tidak memikirkan keselarasan dalam sistem pemerintahan.
b.      Perbedaan interpretasi terhadap suatu ketentuan.
Terjadi perbedaan pendapat, pandangan dan penafsiran terhadap suatu ketentuan tertentu, hal ini jelas menyebabkan suatu konflik atau persinggungan antar lembaga yang akhirnya menimbulkan suatu sengketa.

Terkait dengan sengketa kewenangan maka penyelesainnya dapat dilakukan dengan menggunakan penafsiran konstitusional. Penafsiran Konstitusional merupakan sebuah metode yang sering digunakan oleh para ahli, yang pada intinya bahwa setiap proses keputusan hukum dan kebijakan negara harus dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi salah tafsir dalam proses pembuatan keputusan. Beberapa pendekatan dalam Penafsiran Konstitusi diantaranya yaitu :
1.      Penafsiran secara Tekstual
Yaitu setiap keputusan harus berdasar dan melihat pada fakta dari norma hukum yang tertulis. Dalam penafsiran ini setiap ketentuan diartikan apa adanya atau sesuai dengan makna dari kata-kata yang tertera dalam dokumen hukum tertulis. Dengan demikian, penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemahaman terhadap kata-kata yang tertera dalam hukum tertulis (konstitusi atau Undang-Undang) sebagaimana yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang, dengan satu jaminan setiap orang akan memahami ketentuan tersebut tanpa khawatir adanya interpretasi lain. Namun kenyataannya hingga saat ini penafsiran ini tetap tidak menutup kemungkinan menimbulkan munculnya ambiguitas.
2.      Penafsiran secara Historis
Penafsiran ini tidak didasarkan pada kenyataan/fakta atau norma tertulis, namun lebih berdasarkan pada analisa proses perancangan hukum, maupun latar belakang/sejarah penyusunan konstitusi. Penafsiran dilakukan dengan menelaah dokumen, panitia atau laporan komisi di legislatif, transkrip dan berbagai perdebatan yang terjadi. Misalnya yaitu mengenai perlunya batasan kekuasaan presiden yang akhirnya ditetapkan dalam amandemen UUD 1945 keempat.
3.      Penafsiran secara Fungsional
Disebut juga panafsiran struktural, setiap keputusan didasarkan pada analisa struktur hukum yang termuat dalam konstitusi, dan bagaimana struktur tersebut diartikan sebagai fungsi yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain secara harmonis.
4.      Penafsiran secara Doktrinal
Keputusan didasarkan pada pendapat para ahli hukum, khususnya legislatif, eksekutif dan ketua pengadilan. Sehingga seolah-olah pendapat yang dikemukan tersebut benar. Namun, doktrin ini juga belum tentu akan diterima, sehingga antar para ahli harus tetap saling mengisi dan melengkapi.
5.      Penafsiran secara Prudensial
Keputusan berdasar pada faktor-faktor eksternal dalam hukum atau kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam suatu perkara. Misalnya yaitu dengan cara mencari keseimbangan antara biaya-biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari penerapan suatu aturan atau Undang-Undang tertentu.
6.      Penafsiran secara Etik
Keputusan diambil berdasar pada rasa keadilan, apa yang benar dan salah, serta apa yang menjadi tujuan utama dari peraturan perundang-undangan serta dengan cara menurunkan prinsip-prinsip moral dan etik sebagaimana terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar. Metode penafsiran ini dikonstruksi dari tipe berpikir konstitusional yang menggunakan pendekatan falsafati, aspirasi atau moral. Dengan demikian metode penafsiran ini juga dapat digunakan untuk isu-isu yang menekankan pada pentingnya hak-hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kekuasaan negara atau pemerintahan. Namun pada dasarnya apapun permasalahannya, penafsiran etik ini perlu untuk diikutsertakan. Sebab sebaik-baiknya peraturan ataupun sebuah keputusan tetap tidak akan menjadi baik apabila peraturan atau keputusan tersebut tidak membawa keadilan pada rakyatnya.

Keenam penyelenggaraan penafsiran ini pada dasarnya dapat dilakukan semua secara bersamaan atau dikombinasikan, namun hal tersebut jarang terjadi karena tetap tergantung pada permaslahan yang sedang dihadapi.

Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sebelum dan Sesudah Amandemen

Perbedaan pokok sistem ketatanegaraan Indonesia pada saat sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 yaitu :

No.
Sebelum Amandemen
Sesudah Amandemen
1.
Cenderung menganut supremasi MPR (sebagai lembaga tertinggi negara).
Menganut supremasi konstitusi (UUD 1945 berada pada kedudukan tertinggi dalam negara).
2.
MPR merupakan lembaga tertinggi negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi lainnya, seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA dan MK. Atau dengan kata lain kedudukan lembaga tertinggi.
3.
Tidak dimungkinkan checks and balances antar cabang kekuasaan negara.
Adanya sistem checks and balances antar cabang kekuasaan negara.
4.
Eksekutif memiliki kekuasaan sangat besar dalam penyelenggara negara (jika dibandingkan dengan lembaga legislatif dan yudikatif).
Antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif memiliki kekuasaan yang sama dalam penyelenggaraan negara.
5.
Lembaga perwakilan terdiri dari MPR dan DPR, dimana DPR merupakan political representative.
Lembaga perwakilan bertambah satu menjadi MPR, DPR dan DPD, dimana kekuasaan DPR diperkuat menjadi lembaga negara pemegang kekuasaan yang membentuk undang-undang.
6.
Presiden dan wakil presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR, serta masa jabatannya tidak memiliki batasan waktu.
Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, serta masa jabatannya memiliki batasan waktu.
7.
Kekuasaan presiden tidak tak terbatas.
Kekuasaan presiden diatur dan dibatasi.
8.
Belum ada lembaga DPD, MK dan KY.
Dibentuk lembaga negara baru dalam rumpun legislatif yaitu DPD, dan rumpun yudikatif yaitu MK (sebagai lembaga yang menyelesaikan kasus politik dan ketatanegaraan secara hukum) dan KY.


Peta kewenangan dari lembaga MPR, DPR dan Presiden yang paling pokok atau dominan diantaranya yaitu:
a.       MPR
1.     Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
Alasan : Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi negara Indonesia, tanpa konstitusi suatu negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah sebagai pemberi pegangan dan pemberi batasan, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Sehingga wewenang MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar merupakan salah satu wewenang yang paling pokok atau dominan mengingat betapa pentingnya Undang-Undang dasar bagi suatu negara termasuk Indonesia.
2.     Melantik presiden dan wakil presiden.
Alasan : Presiden dan Wakil Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara memiliki fungsi yang sangat vital dalam suatu negara. Sehingga, wewenang MPR untuk melantik presiden dan wakilnya merupakan salah satu wewenang yang sangat pokok atau dominan, karena mengingat pentingnya fungsi Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Selain itu, wewenang ini hanya dapat dilakukan oleh MPR dan tidak dapat dilakukan oleh Lembaga Negara yang lainnya.
3.  Memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Alasan : Apabila Presiden dan Wakil Presiden telah habis masa jabatannya, maka MPR sebagai lembaga yang berwenang berhak untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Hal ini merupakan salah satu wewenang pokok MPR karena wewenang ini tidak dapat dilakukan oleh Lembaga Negara lain selain MPR.

b.      DPR
1.     Membentuk UU yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Alasan : Wewenang DPR untuk membentuk UU yang dibahas bersama Presiden untuk mendapat persetujuan bersama merupakan salah satu wewenang pokok DPR. Hal ini mengingat DPR sebagai perwakilan dari rakyat sangat penting untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan permaslahan-permaslahan yang dikeluhkan oleh masyarakat, sehingga nantinya UU yang dibentuk oleh DPR dan dibahas bersama Presiden tersebut dapat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, dan juga mengingat wewenang tersebut merupakan cerminan dari fungsi DPR sebagai lembaga legislatif.
2.     Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Alasan : Wewenang ini menurut saya merupakan wewenang pokok DPR karena DPR sebagai wakil rakyat dan berhubungan langsung dengan masyarakat, menjadikan DPR sebagai lembaga yang paling mengatahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, RAPBN yang diajukan oleh presiden kepada DPR dapat ditolak oleh DPR apabila hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh rakyat dan juga dianggap menghambur-hamburkan uang rakyat. Oleh karena itu wewenang ini sangat dominan bagi lembaga DPR. Selain itu, hal ini juga merupakan salah satu cerminan dari fungsi DPR yaitu fungsi anggaran.
3.     Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah.
Alasan : Pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan yang telah ditetapkan serta dilaksanakan oleh pemerintah perlu diawasi agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, wewenang DPR untuk melakukan pengawasan merupakan salah satu wewenang yang sangat penting dan dominan. Karena DPR merupakan alat bagi rakyat untuk melakukan monitoring terhadap kinerja pemerintah. Selain itu, hal ini merupakan salah satu cerminan fungsi dari DPR yaitu fungsi pengawasan.

c.       Presiden
1.     Memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar.
Alasan : Sebagai seorang kepala pemerintahan, presiden mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan pemerintahan negara Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Sehingga wewenang ini merupakan salah satu wewenang yang paling dominan bagi Presiden sebagai kepala pemerintahan.
2.     Membuat perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Alasan : Sebagai seorang kepala negara, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Presiden berwenang membuat perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR. Mengingat bahwa suatu negara tidak dapat menjalankan negaranya tanpa bantuan dari negara lain dan dalam melakukan hubungan serta kerjasama tersebut perlu adanya perjanjian agar tidak terjadi campur tangan yang terlalu jauh dari negara lain atau kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya yang tidak diharapkan. Oleh karena itu perlu adanya wewenang Presiden dalam hal membuat penjanjian dengan negara lain tersebut.
3.     Memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, laut, dan udara.
Alasan : Selain sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, seorang presiden juga merupakan panglima tertinggi angkatan perang. Sehingga Presiden berwenang dalam menentukan apa yang harus dilakukan oleh angkatan darat, laut maupun udara pada saat yang dibutuhkan sesuai dengan UUD 1945. Misalnya pada saat genting Presiden berwenang menyatakan perang dan memberikan komando terhadap angkatan darat, laut maupun udara untuk melakukan serangan. Sehingga wewenang ini merupakan salah satu wewenang yang dominan bagi Presiden.